Friday, June 05, 2009

JUSUF KALLA: JANGAN-JANGAN MAU MEMPERMALUKAN SAYA

Dia punya kenangan tersendiri tentang kantor redaksi majalah Tempo. Lima tahun lalu, sebelum pemilihan presiden, Ketua Umum Partai Golkar itu berkunjung, dan ia terpilih menjadi wakil presiden--mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono.

Senin pekan lalu, dengan pengawalan jauh lebih ketat dibanding lima tahun silam--meski tetap longgar untuk ukuran wakil presiden--ia kembali bertandang ke kantor Tempo di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat.
"Ruang ini penuh berkah," kata Jusuf Kalla, 67 tahun. Kali ini statusnya penantang Yudhoyono: calon presiden yang berpasangan dengan Jenderal Purnawirawan Wiranto. Didahului makan siang dengan menu biasa--nasi sayur asam, ayam goreng, ikan bumbu pedas, dan tempe goreng--Jusuf Kalla satu jam lebih meladeni pertanyaan tuan rumah. Petugas protokoler Istana Wakil Presiden awalnya meminta pertemuan hanya diikuti belasan orang, tapi pada akhirnya ruang rapat redaksi, tempat pertemuan digelar, sesak oleh awak redaksi Tempo.

Kalla didampingi Sekretaris Wakil Presiden Tursandi Alwi, juru bicara tim sukses JK-Wiranto, Yuddy Chrisnandi, dan beberapa pendukungnya. Seperti biasa, Jusuf Kalla menjawab pertanyaan dengan lugas, dan tanpa off the record.

Mengapa Anda memutuskan berpisah dengan SBY?
Saya sebenarnya siap berkoalisi lagi. Tiga kali saya bertemu SBY membicarakannya. Beliau setuju, tapi dengan sejumlah syarat. Kalau melanjutkan koalisi, masa perlu syarat-syarat lagi? Itu menandakan beliau mungkin mempunyai pandangan lain. Itu hak beliau. Kami hormati. Jadi, kalau begitu, kami jalan sendiri saja.

Apa saja syaratnya?
Banyaklah. Misalnya, calon yang diajukan bukan ketua umum partai. Secara tersirat, sebenarnya beliau hanya ingin melanjutkan koalisi Demokrat-Golkar, bukan SBY-JK. Calon yang diajukan juga harus loyal. Sebenarnya loyal tidak masalah, tapi pada negara, bukan pribadi. Apa pernah saya tidak loyal?

Golkar juga diminta mengajukan lima nama. Aneh, kalau memang mau melanjutkan koalisi, mengapa minta lebih dari satu nama? Jangan-jangan ini mau mempermalukan saya. Bagi Golkar, ini tidak sesuai dengan rapat pimpinan nasional yang telah memutuskan satu nama.

Apa yang Anda katakan ketika menyatakan berpisah?
Tidak ada perpisahan resmi sebenarnya, karena memang begitulah politik. Tapi, ketika saya serahkan surat resmi di Istana, kami berdua terharu. Sampai kita peluk-pelukan berdua: kenapa akhirnya begini?

Slogan kampanye Anda "Lebih Cepat, Lebih Baik" membuat SBY tersinggung?
Ya, katanya seperti itu. Padahal, yang saya maksud lebih cepat lebih baik bukan masalah pribadi. Ini menyangkut kepemimpinan, pengelolaan bangsa, dan program pemerintah. Bisa tercapai lebih cepat kan lebih baik? Jangankan negara, salat pun lebih cepat lebih baik. Namanya politik, masa kita mau bilang "lebih lambat, lebih baik"?

Saya tidak pernah memperhatikan partai lain, saya selalu memperhatikan diri saya. Jangan, dong, mengontrol apa yang mau kita bilang. Itu kan tidak bagus? Namanya kampanye, kita harus jual yang terbaik, kan? Kita harus menjual solusi.

Itu menohok SBY, yang dikenal lambat karena terlalu banyak pertimbangan....
Masing-masing orang kan berbeda, kita maklum saja.

Rapat kenaikan BBM sampai perlu dilakukan 12 kali?
Ya, mungkin dibutuhkan pertimbangan yang matang. Saya pikir itu gaya hati-hati yang baik. Mungkin belum tentu efektif, tapi penuh kehati-hatian itu penting juga.

Dalam beberapa kasus Anda berseberangan dengan Boediono, waktu itu Gubernur Bank Indonesia. Misalnya soal blanket guarantee setelah muncul kasus Bank Century?

Saya berpendapat, blanket guarantee itu artinya semua masalah perbankan--kesulitan cash flow, rugi, dan sebagainya--pada akhirnya ditanggung APBN. Ini artinya ditanggung seluruh rakyat. Saya tidak mau kesalahan bankir-bankir itu dibebankan ke rakyat. Itu menzalimi rakyat.

Berdasarkan pengalaman pada 1998, blanket guarantee itu justru merugikan, tidak memberikan hal positif. Saya lalu kasih data, statistik, grafik, kepada Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan. Saya bilang tidak, karena bisa menimbulkan krisis kedua. Semua negara yang memberikan blanket guarantee, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, pertumbuhan ekonominya minus.

Siapa yang mengusulkan blanket guarantee?
Macam-macam, Kadin, pihak perbankan, semua memberikan usulan. Yang ngotot itu Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan.

Sikap SBY bagaimana?
Menteri Keuangan mengatakan (sikapnya) sudah disetujui Presiden. Saya lalu setuju, tapi hanya Rp 2 miliar. Itu bukan blanket guarantee, tapi jaminan perbankan. Kepada Gubernur Bank Indonesia saya bilang, jangan seenaknya saja: mengawasi perbankan tapi mengorbankan rakyat.

Apa alasan Gubernur Bank Indonesia?
Katanya untuk kestabilan moneter, agar perbankan jalan. Itu cara normatif: ciri-ciri monetaris. Saya bilang tidak.

Bukankah BI tidak perlu datang ke presiden?
Ini menyangkut jaminan negara, artinya rakyat yang menjamin. Akibatnya, kita bisa kekurangan anggaran pendidikan, kesehatan, perbaikan jalan. Sama seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, rakyat harus menanggung 50 tahun.

Bisa dibilang itu titik balik hubungan Anda dengan SBY?
Saya tidak mengatakan itu. Tapi, untuk persoalan itu, saya memang keras sekali. Sampai ada yang taruhan: siapa yang benar, Wakil Presiden atau yang lain. Kenyataannya sampai sekarang perbankan tetap aman.

Direktur Utama Bank Century dipenjarakan setelah itu?
Ya. Saya juga yang memerintahkan agar dia ditangkap. Waktu itu Bank Indonesia mengatakan tidak bisa karena tidak ada hukumnya. Saya bilang, mengapa tak bisa. Polisi harus mencari (dasar) hukumnya.

Dalam hal apa lagi perbedaan Anda dengan Boediono?
Dalam banyak hal saya selalu ingin pemerintah itu mencari jalan. Menteri dan Wakil Presiden kan harus memiliki target. Target itu harus diraih dengan segala upaya. Kalau ada aturan yang tidak sesuai, aturannya yang diperbaiki, bukan targetnya yang dihentikan. Nah, Pak Boediono itu taat aturan. Itu gaya eselon dua atau kepala biro. Kalau menteri, seharusnya bikin terobosan.

Apakah SBY tidak pernah menengahi perbedaan Anda dengan Boediono?
Secara terbuka SBY tidak pernah memberikan pandangan.

Dalam proyek monorail, Anda dan Boediono juga bertentangan?
Proyek monorail itu proyek DKI yang diresmikan pada zaman Ibu Mega. Waktu itu Boediono Menteri Perekonomian, dan saya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Kemudian proyek ini terbengkalai. Perusahaan private partnership tidak punya kemampuan finansial. Mula-mula biayanya US$ 800 juta. Saya bilang itu kemahalan, bisa turun jadi US$ 400 juta.

Untuk transportasi publik, pemerintah harus terlibat. Caranya dengan memberikan jaminan untuk pemerintah DKI. Lalu DKI menjamin ke investor, itu harus punya penumpang sekian. Karena mereka tak punya hak menjamin, Menteri Keuangan harus menjaminnya. Jadi, Menteri Keuangan itu menjamin pemerintah DKI, bukan menjamin swasta.

Bagaimana soal listrik?
Kalau kita tidak membangun pembangkit listrik dua tahun lalu, tahun ini Indonesia gelap-gulita. Subsidinya bisa Rp 100 triliun karena memakai diesel. Saya dulu bilang, bangun pembangkit listrik dengan batu bara. Listrik ini luar biasa, dalam satu tahun bisa kembali modal. Subsidi untuk listrik Rp 80 triliun pada 1998. Dengan membangun senilai itu, subsidi langsung turun menjadi Rp 10 triliun. Tapi, karena tak punya uang, ya harus meminjam dulu dengan jaminan negara. Itu tanda tangani saja, pembayarannya pasti tak akan (melewati masa) jatuh tempo.

Waktu itu dianggap menabrak undang-undang?
Bukan, cuma keputusan presiden atau malah keputusan menteri. Saya bilang, ubah saja aturannya. Dalam waktu satu hari, aturan berubah. Mereka yang menolak dulu berpikir bahwa pemerintah jangan campur tangan. Semua diserahkan ke pasar.

Ciri neoliberal?
Saya tak bilang begitu, ya. Yang bilang itu Anda.

Anda memang cepat, tapi keputusannya dianggap menguntungkan perusahaan-perusahaan keluarga Anda?
Siapa? Coba tunjukkan!

Bosowa Energi dalam proyek listrik itu?
Bosowa itu IPP (independent power producer alias pengembang listrik swasta). Itu siapa saja boleh. Masa, bisa dibilang diskriminasi? Justru kita harus angkat topi pada pengusaha yang mau mengambil risiko. Kita harus hormat pada kemenakan saya yang mau ambil risiko itu. (Erwin Aksa, keponakan Jusuf Kalla, memimpin Grup Bosowa, yang berencana membangun pembangkit listrik di Sulawesi Selatan--Red.)

Bukaka Teknik juga pernah menangani proyek menara listrik?
Itu juga IPP, boleh-boleh saja, dong. Bukaka itu perusahaan pertama di Indonesia yang mampu membuat menara listrik. Anda boleh bangga. Dulu menara listrik itu diimpor, sekarang tidak. Garbarata (jembatan antara terminal dan pesawat) juga begitu. Kalau kita bicara kemandirian, mestinya Bukaka dapat bintang.

Bisnis mengandalkan pasokan informasi paling cepat. Bukankah perusahaan keluarga diuntungkan dengan posisi Anda?
Apa contohnya? Kalau khawatir tanpa contoh, kan tak enak?

Kasus helikopter yang dulu hendak disewakan ke Badan Penanggulangan Pengungsi?
Helikopter itu bukan milik pemerintah, milik sendiri. Masa, tidak boleh berdagang milik sendiri?

Bisnis keluarga Anda itu dikritik Boediono....
Coba tunjukkan satu yang saya campuri. Jangan lupa, bisnis keluarga saya 95 persen berurusan dengan masyarakat. Cuma 5 persen yang mungkin tender dengan pemerintah.

Kalau famili tidak boleh berbisnis lagi, itu bahaya sekali. Latar belakang saya pengusaha, adik pengusaha, bapak pengusaha. Sama saja dengan Pak SBY: beliau jenderal, bapaknya tentara, mertua tentara, besan tentara, adik tentara, anak juga tentara. Kita tak bisa mengatakan itu kolusi atau nepotisme, kan?

Jadi, apa batas keluarga pejabat bisa berbisnis?
Selama tidak melanggar hukum. Selama dia mengikuti aturan tender. Jangan lupa, informasi tentang tender itu terbuka sekali.

Kalau Anda menang, apa yang akan berubah?
Kecepatan dan pertumbuhannya. Kami sanggup mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen, asalkan melaksanakan terobosan. Kita percepat infrastruktur, percepat proses bisnis yang lambat.

Target Anda berapa hari doing business?
Saya sanggup 50 hari. Malaysia kan 30-an? Soal izin, terutama, kita percepat. Soal kemampuan bank mempercepat kredit. Soal aturan, hukum, akan saya periksa dengan detail. Dulu itu saya tangani, tapi kemudian dipindah ke Menteri Koordinator Perekonomian.

Berapa modal Anda jadi presiden?
Pada 2004 kami termasuk yang paling kecil biayanya, tapi bisa menang.

Berapa sih dana minimum agar terpilih?
Ya, tergantung. Sama saja dengan makan, kita bisa kenyang dengan nasi bungkus Rp 20 ribu, juga bisa tidak kenyang dengan makanan Jepang Rp 1 juta. Pada 2004 , total biaya yang kami keluarkan Rp 120 miliar. Sekarang dua kali lipatnyalah. Itu karena semua mahal, termasuk iklan di media massa.

Kenapa tidak memilih Prabowo yang kaya sebagai pasangan?
Kami memilih yang cocok, bukan yang banyak uangnya. Lagi pula, beliau ingin jadi presiden waktu itu.

Bagaimana peluang Anda menjadi pemenang?
Ha-ha-ha.... Begini, terus terang saya surprise dengan dukungan satu minggu terakhir ini. Banyak yang mengira pemilihan presiden itu penjumlahan suara hasil pemilu legislatif. Ini keliru sekali. Pemilihan presiden itu soal figur. Mulai dari leadership, track record, kemampuan, kaya, macam-macam. Ditambah faktor politik, berapa partainya. Partai pun tidak semua loyal. Kami ini Pasangan Nusantara, itu kan berarti kulturalnya melebar. Ditambah lagi hubungan-hubungan keagamaan. Jadi, kami yakin mempunyai kemampuan.

Di Golkar, Anda juga tidak didukung penuh. Misalnya Aburizal Bakrie menggelar pertemuan membahas percepatan Musyawarah Nasional Golkar?
Saya harus mengklarifikasi, tidak ada satu pun pembicaraan tentang musyawarah nasional dalam pertemuan itu. Mereka hanya membahas solidaritas membantu SBY-JK. Memang ada pihak yang berkampanye, nanti kalau diadakan musyawarah nasional, dukung-dukunglah. Musyawarah nasional kira-kira November-Desember.

Anda tidak melihat Aburizal, Akbar Tandjung, dan Agung Laksono yang dikenal sebagai Trio Alpha ingin menggusur Anda?
Mau trio-trio apalah, ya..., silakan aja. Kalau kami menang, mau apa mereka?

Alasan mereka kan tidak mau Golkar menjadi oposisi nanti....
Kalau kami menang, kan tidak menjadi oposisi? Itu salah pemikirannya, belum bertanding sudah merasa kalah.

Suasana kabinet sekarang seperti apa?
Sudah agak lama tidak ada sidang kabinet.

Tidak diundang lagi?
Kalau di paripurna, saya diundang. Kalau yang terbatas, saya tidak tahu, cuma lihat di koran. Namanya wakil kan terserah presidennya. Ndak usah maksa-maksa. Kalau memang tidak boleh, ya sudah.

Apakah tidak sebaiknya Anda nonaktif sebagai wakil presiden?
Saya dipilih berdua oleh 70 juta orang. Kalau saya diangkat, boleh saja. Ini kan dipilih, rakyat bisa marah kalau kami mundur.

Oke, tolong jawab dalam kalimat singkat: mengapa JK-Wiranto layak dipilih?
Karena dengan pengalaman, kami sanggup membuat bangsa ini menjadi lebih baik


Menurut saya : sepertinya si JK ini memang sosok yang cerdas dan sigap, juga dia ingin terus berinovasi... sebuah mental yang cool untuk orang yang sudah cukup tua :D

7 comments:

Petra Barus said...

mantap gan!
awak mantap pilih JK kalo kek gini cara pikirnya ^___^

pebbie said...

mantap pola pikirnya! tanpa off the record.. berhati-hati itu bagus.. tapi dulu Adnan Buyung Nasution juga pernah bilang kalo SBY orangnya lambat..ditambah Boediono pula..

andai saja mayoritas rakyat indonesia bukan orang yang malas dan manja..

Ivan said...

JK emang cepet bet orangnya, cuma ya gt... rada songong.... :D

gredinov said...

sama kayak maneh donk van.. rada songong.. hahaha.. piss

dhik said...

kalo mau nyalon, mundur dulu donk pak dari pemerintahan karena posisi yang di ambil sekarang adalah rival dari presiden incumbent. Tidak pantas wakil-nya menyerang kepala-nya. itu namanya menusuk dari belakang

dhik said...

kalo mau nyalon, mundur dulu donk pak dari pemerintahan karena posisi yang di ambil sekarang adalah rival dari presiden incumbent. Tidak pantas wakil-nya menyerang kepala-nya. itu namanya menusuk dari belakang

Ivan said...

udah kallah kok mas... sante aja :D